Rabu, 17 November 2010

Pertumbuhan ekonomi untuk siapa ?

Setiap tahun perdebatan tentang target pertumbuhan ekonomi menjadi isu yang sengit di parleman dalam pembahasan APBN antara DPR dan pemerintah. Perdebatan tentang tingkat pertumbuhan ekonomi juga menjadi perdebatan yang menarik antar kandidat calon presiden 2009. Kita masih ingat kandidat Yusuf Kala mentargetkan pertumbuhan ekonomi lebih dari 10% tiap tahun untuk memperbaiki perekonomian Indonesia. Namun dalam kenyataannya setiap pertumbuhan ekonomi tidak serta merta dapat menyerap tenaga kerja.
Teori ekonomi yang menyatakan bahwa setiap pertumbuhan ekonomi sebesar 1 persen akan menyerap 300.000-400.000 tenaga kerja ternyata tidak berlaku di Indonesia.

Pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah setiap tahunnya tidak otomatis mampu mendongkrak penye­rapan tenaga kerja sehingga mengurangi pengangguran.
Hal itu dikatakan Kepala Biro Humas dan Hukum Badan Pusat Statistik (BPS) Sairi Hasbullah di Bandung, akhir pekan lalu.
Menurutnya, teori itu tidak berlaku bagi negara-negara berkembang seperti Indonesia, Thailand, dan Filipina, apalagi jika pertumbuhan ekonomi itu berbasis modal (capital intensive), bukan labor intensive (berbasis tenaga kerja).
“Teori itu tidak berlaku di negara-negara berkembang,” kata Sairi.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa jadi justru menambah jumlah pengang­guran. Pasalnya, semakin besar modal yang dikucurkan, semakin tinggi pula teknologi yang digunakan. Penggunaan teknologi tinggi biasanya tidak terlalu menyerap tenaga kerja sehingga memicu meningkatnya angka pengangguran.
Contoh sederhana terjadi pada lingkungan petani. Jika petani tersebut memiliki modal besar, ia akan menggunakan teknologi tinggi untuk menge­lola sawahnya dengan modal yang ia miliki. Akibatnya, ia tidak perlu memanfaatkan tenaga buruh tani yang banyak. Hal yang sama terjadi pada sektor riil lainnya.
Oleh karena itu, jika peme­rintah memiliki target penye­rapan tenaga kerja, seharusnya pemerintah menggenjot pertumbuhan sektor yang mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Hal yang sama diungkapkan Deputi Bidang Neraca dan Analisis Statistik BPS Salmet Sutomo. Ia mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah setiap ta­hun­nya belum tentu mampu mendongkrak penyerapan tenaga kerja.
Pasalnya, rumus ekonomi yang mengatakan bahwa setiap pertumbuhan ekonomi se­besar 1 persen itu tidak ber­la­ku di Indonesia yang menerapkan pola paduan capital intensive dan labor intensive.
Ia mencontohkan ketika ekonomi tumbuh pesat di Februari 2010 seiring dengan pertumbuhan ekonomi dunia pascakrisis ekonomi, pengangguran tertutup justru naik dari 31,36 juta orang pada periode yang sama tahun sebelumnya menjadi 32,8 juta orang, mes­kipun pengangguran terbuka menurun dari 9,26 juta orang menjadi 8,59 juta orang.
Hal itu sama dengan pe­ningkatan produk domestik bru­to (PDB), tetapi dengan pro­duktivitas yang kurang baik.
Sementara itu, pengamat ekonomi Sri Adingsih me­nga­takan, idealnya pertumbuhan ekonomi itu mampu menyerap tenaga kerja, khususnya di bidang formal. Namun, pada kenyataannya, pertumbuhan ekonomi ini tidak mampu menyerap tenaga kerja formal.
“Ekonomi memang tumbuh, tetapi lapangan kerja yang tercipta justru di sektor informal. Penyerapan tenaga kerja di sektor informal itu bukan karena pertumbuhan ekonomi, melainkan karena jaring pengaman sosial bahwa orang itu harus makan jadi mereka harus bekerja apa saja,” katanya, Senin (15/11).
Sementara itu, terbukti bahwa bekerja di sektor informal sering kali tidak me­muaskan tenaga kerjanya karena tidak memberikan pendapatan yang layak.
Ia menambahkan, dua pertiga tenaga kerja di Indonesia bekerja di sektor informal, didorong oleh jumlah industri mikro yang menguasai sampai 95 persen sektor industri. Hal itu menunjukkan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi di Indonesia rendah.
“Sekarang yang berkembang industri mikro dan informal, itu bukan tanda-tanda kemajuan, justru kemerosotan. Itu termasuk pada kualitas eko­nomi yang rendah,” katanya.

Kalau sudah demikian untuk apa kita tiap tahun melakukan perdebatan tentang target pertumbuhan ekonomi. Terus sebenarnya siapa yang menikmati pertumbuhan ekonomi yang terjadi. Akankah keadaan ini akan terus kita biarkan.

Oleh karena itu kiranya sudah waktunya seluruh energi kita kembalikan kepada pesan pendiri bangsa ini untuk mendahulukan keadilan daripada kemakmuran (masyarakat 'adil dan makmur') kalau tidak maka pertumbuhan ekonomi yang secara nasional selama ini kita kejar hanya akan dinikmati oleh orang - orang tertentu. Mari jadikan tingkat pemerataan sebagai tujuan pembangunan kita. Bukankah begitu nilai zakat mengajarkan kepada kita. Maka yang akan menjadi perdebatan dimasa mendatang bukan berapa pertumbuhan ekonomi kita, tapi sejauhmana pembangunan kita menghasilkan pemerataan bagi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.Wallahua'lam.

Senin, 15 November 2010

AS menggrojok 600 miliar dolar ke perekonomian

Sementara sebagian masyarakat Indonesia di bius oleh pidato retorika Obama. Kita harus siap - siap untuk menerima konsekuensi dari kebijakan yang diambil oleh Obama dalam upayanya menurunkan nilai tukar dolar untuk mendorong ekspor guna memperbaiki neraca pembayarannya terutama untuk menyeimbangkan perdagangan dengan Cina. Kebijakan yang ditempuh Obama adalah mencetak 600 miliar dolar yang inflasinya akan ditanggung oleh seluruh dunia. Termasuk Indonesia. Siap2 nilai riil rupiah akan anjlok secara alami karena kebijakan Amerika nggelontorin pasar dunia dg cetak dolar 600 miliar tersebut. Hal ini akan terus terjadi selama kita membiarkan dominasi dolar dalam perdagangan dan perekonomian dunia. Akibatnya Bude Jamu yang nggak pernah lihat dolar pun harus menanggung akibatnya. Untuk jangka pendek kita perlu menyeimbangkan cadangan devisa kita dalam bentuk Euro dan mata uang Cina disamping Dolar. Dimasa mendatang kita harus menggantikan dominasi dolar dengan mata uang 'emas dinar' untuk ekonomi dunia yang lebih adil. Hidup ekonomi syariah.

Jumat, 05 November 2010

Keikutsertaan Indonesia dalam BRIC

Ramai2 semua pihak mendorong Indonesia menjadi bagian dari BRIC(Brasil, Rusia, India dan Cina) sbg kekuatan baru perekonomian dunia. Perlukah itu ?
Tergantung...Sejauhmana Indonesia mampu mengambil peran dalam forum itu sebagai duta dari negara2 yang sedang memperjuangkan implementasi ekonomi syariah. Dalam forum itu Indonesia harus mendorong tatanan ekonomi dunia kearah ekonomi yang berbasis moneter 'dinar', keadilan 'zakat' dan penghargaan terhadap SDM. Kalau tidak mempunyai agenda tersebut perlu dikaji kembali keikutsertaan Indonesia dalam forum tersebut. Jangan sampai kita hanya akan kebagian peran sebagai pemasok SDA murah, penyedia SDM murah dan menjadi pasar yang menggiurkan sebagaimana peran kita selama ini di bawah perekonomian yang dikomandoi oleh bank dunia. Mungkinkah pengambil kebijakan punya agenda yang sama ?