Rabu, 07 Juli 2010

BENARKAH KORPORASI BISA JADI SUBJEK ZAKAT/WAJIB ZAKAT?

Pertanyaan tersebut perlu saya sampaikan terkait dengan kondisi perpajakan di Indonesia yang saat ini menunjukkan bahwa wajib pajak koorporasi masih mendominasi (70%) dibandingkan wajib pajak perorangan. Hal tersebut dinilai tidak sehat karena kalau di negara- negara maju penerimaan pajak perorangan lebih dominan dibanding pajak koorporasi. Selanjutnya apa kaitannya dengan zakat? Terkait hal tersebut perlu dipertanyakan bagaimana konsep zakat menanggapi hal tersebut. Hal tersebut terkait apakah dalam pengelolaan kebijakan zakat kita mendorong /mengarahkan kepada dominasi zakat pribadi atau zakat koorporasi. Atau boleh jadi zakat koorporasi pada dasarnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dasar pengelolaan pengelolaan perekonomian islami. Karena kalau menurut beberapa kajian bentuk usaha yang paling sesuai dengan ekonomi syariah adalah koperasi yang pada hakekanya memegang prinsip ‘one man one vote’ dalam pengambilan keputusan tanpa melihat share seseorang atas modal koorporasi. Share seseorang baru diperhitungkan dalam kerangka bagi hasil atas keuntungan koorporasi untuk memenuhi asas keadilan. Oleh karena itu bentuk koorporasi yang ideal menurut ekonomi syariah adalah koperasi.
Dengan bentuk korporasi yang kita tuju seperti koperasi maka akan relatif terjamin distribusi pendapatan dalam perekonomian karena setiap orang mempunyai akses yang sama dalam pengambilan keputusan. Apakah konsekuensinya kebijakan zakat/pajak yang kita dorong dominasinya dalam perekonomian adalah zakat perorangan daripada zakat koorporasi. Sehingga pengenaan zakat sebagai factor pengurang pajak koorporasi/PPh Badan selama ini perlu kita kaji ulang dari sisi idealnya dengan kacamata ekonomi syariah. Kalau dalam kerangka transisi tentunya kita dapat maklumi.
Kita perlu mempunyai prinsip-prinsip dasar yang mantap dengan menyikapi kondisi terkini dalam kebijakan fiscal sehingga manakala kita memasukkan nilai – nilai ekonomi syariah dalam pengelolaan keuangan negara kita punya pegangan dalam kerangka ideal dan terjamin bahwa ekonomi syariah merupakan solusi paripurna atas permasalahan perekonomian.

”Karena sejatinya dengan nilai islam yang universal, maka tidak harus menunggu khilafah kita dapat terapkan nilai ekonomi syariah dalam kebijakan fiskal Indonesia.”

Selasa, 06 Juli 2010

ASUMSI MAKRO APBN MENURUT EKONOMI SYARIAH

Ada yang menarik dari kesepakatan DPR dan pemerintah beberapa hari yang lalu yaitu menjadikan penurunan tingkat kemiskinan sebagai asumsi makro APBN di masa – masa mendatang. Tingkat penurunan kemiskinan sebagai asumsi makro menjadi bagian asumsi makro yang selama ini menjadi pembahasan dalam Badan Anggaran DPR RI yaitu target pertumbuhan, tingkat inflasi, nilai tukar dolar, lifting minyak, harga minyak dan tingkat suku bunga SBI. Sebenarnya asumsi dasar APBN yang berlaku selama ini adalah tingkat pertumbuhan dan inflasi karena dua instrumen inilah yang menjadi kesepakatan dan koordinasi utama antara pengambil kebijakan fiskal (Kemenkeu) dan kebijakan moneter (BI) dalam mengambil kebijakan masing-masing, sedangkan yang lainnya merupakan instrumen pendukung dalam pencapaian kedua target tersebut.
Dengan asumsi dasar makro yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR akan ditentukan besaran target pendapatan yang harus dicapai, belanja yang harus dilaksanakan dan sumber pembiayaan atas defisit APBN. Kevalidan capaian target-target asumsi dimaksud oleh pemerintah dan BI dengan persetujuan DPR di dalam pelaksanaannya dapat kita gunakan sebagai alat untuk menilai sejauhmana keberhasilan/kegagalannya dalam mengelola keuangan negara ini.
Penetapan target tingkat kemiskinan sebagai asumsi makro APBN merupakan hal yang baru dalam pembahasan APBN kita. Bagaimana sebenarnya ekonomi syariah memandang instrumen yang seharusnya digunakan sebagai asumsi APBN? Dalam pengelolaan keuangan publik islami sejatinya terdapat nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam penetapan asumsi makro APBN yaitu :
1. Prinsip Keadilan, tujuan dasar dari kebijakan fiskal Islam adalah distribusi pendapatan. Hal ini dicerminkan dalam kebijakan zakat. Oleh karena itu sebenarnya hal tersebut dapat ditransformasikan ke dalam ukuran-ukuran keadilan dalam kebijakan fiskal kita yaitu misalnya menjadikan indek gini ratio sebagai asumsi makro APBN. Dengan alat ini pemerintah ditargetkan untuk meningkatkan pemerataan atas hasil – hasil pembangunan. Adalah tidak logis sebenarnya negara yang berdasarkan Pancasila ini seratus lima puluh orangnya memiliki kekayaan yang lebih tinggi dari belanja seluruh APBN pusat. Laporan terakhir menyebutkan kekayaan 150 orang di Indonesia saat ini sebesar 550 triliun rupiah jauh diatas belanja seluruh kementerian/lembaga termasuk seluruh anggaran untuk membangun seluruh jalan, belanja persenjataan, biaya aparatur, biaya pendidikan yang tahun 2010 ini seluruhnya (belanja kementerian/lembaga) hanya sebesar 300 triliun. Terus dalam kondisi ini bagaimana sebenarnya dengan pengamalan sila kelima dari Pancasila. Bukankah dalam tujuan negara yang didengungkan oleh pendiri bangsa yaitu ’masyarakat adil dan makmur’, dimana kata adil didahulukan daripada makmur.
2. Penetapan tingkat pengentasan kemiskinan sebagai target makro ekonomi hakekatnya sejalan dengan ekonomi syariah. Hal ini sejalan dengan nilai ajaran zakat yang mengamanatkan minimal 25% penerimaaan zakat untuk pengentasan kemiskinan sehingga dua asnaf yang mewakili kepentingan tersebut yaitu fakir dan miskin dialokasikan secara langsung dari 25% dari penerimaan zakat. Penetapan penurunan angka kemiskinan sebagai asumsi APBN adalah sangat positif dengan ketentuan angka tingkat capaian pengentasan kemiskinan tersebut dalam pelaksanaannya benar- benar dapat diyakini kevalidannya serta dengan kejelasan kriteria pengukurannya.
3. Penurunan tingkat pengangguran sebagai target makro capaian APBN. Dalam hal tertentu angka pengentasan kemiskinan tidak sejalan dengan tingkat pengangguran. Oleh karena itu tingkat pengangguran kiranya perlu juga dijadikan target asumsi makro dan kontrak kinerja pemerintah. Karena bekerja bagi seseorang adalah sebuah penghargaan, identitas diri dsb. Maka hal ini harus diprioritaskan oleh pemerintah. Hal ini sejalan dengan penekanan nilai zakat terhadap orang – orang yang berusaha sehingga terhadap orang yang berhutang karena untuk usaha/bekerja dibantu oleh negara.
4. Penetapan nilai rupiah terhadap emas sebagai pengganti dolar yang selama ini menjadi bench mark dalam penyusunan APBN. Ini mungkin akan sangat mendasar dan kontroversial karena terkait dengan berbagai implikasi kebijakan moneter namun hal tersebut harus mulai diwacanakan karena untuk menuju pengelolaan kebijakan fiskal yang benar-benar berbasis nilai-nilai islami. Disamping itu perlu penetapan nilai tukar rupiah tidak ke dalam dolar semata namun dapat didiversifikasikan ke dalam Uero dan Cina. Karena sadar atau tidak untuk membuat dunia yang lebih berkeadilan maka dominasi dolar harus mulai dikurangi dengan tidak menjadikannya satu-satunya benchmark mata uang rupiah.
5. Maksimal dana yang boleh mengendap di perbankan misalnya sekian persen dari uang yang ada. Asumsi ini untuk menjamin agar dana diperbankan benar- benar dapat bergerak ke sektor riil. Yang mendesak saat ini sebenarnya disamping hal – hal tersebut adalah kebijakan yang dapat ditargetkan oleh pemeirntah dalam APBN adalah bagaimana agar pemerintah dan BI ditekan untuk membuat kebijakan yang mampu menggelontorkan dana perbankan yang saat ini enggan bergerak ke sektor riil. Ini barangkali juga mendesak untuk menjadikan target kebijakan fiskal sekaligus kalau memungkinkan sebagai asumsi APBN.

”Karena sejatinya dengan nilai islam yang universal, maka tidak harus menunggu khilafah kita dapat terapkan nilai ekonomi syariah dalam kebijakan fiskal Indonesia.”

Wallahua’lam.

Kamis, 01 Juli 2010

Institut Kemandirian dan Keberpihakan Fiskal

Alhamdulillah dengan rahmat Allah dua minggu ini saya sempat silaturahmi ke dua tempat yaitu Solo dan Palembang. Ada hal menarik yang menjadi kesimpulan saya setiap mengamati pergerakan masyarakat khususnya generasi mudanya. Secara umum generasi muda kita harapannya adalah ingin menjadi pegawai negeri sipil. Untuk kota pelambang ditambahkan dengan menjadi pegawai BUMN. Masalah cita-cita saya jadi teringat dengan tayangan dengan judul 'cite-cite' yang sering dilihat tayangannya oleh anak saya rasyad yasmin melalui acara ipin upin yang akhir-akhir ini menghipnotis anak2 Indonesia. Bahwa setiap anak harus punya cita-cita apalagi anak muda. Cita -cita anak muda kita saat ini secara umum adalah pegawai negeri. Mentalitas menjadi pegawai ini memang diwariskan oleh bangsa ini sejak dahulu ketika strata sosial sangat menghargai manakala seseorang menjadi abdi dalem atau panata praja. Bangsa Indonesia yang kaya ini sejatinya akan sangat susah maju manakala mayoritas pemudanya berharap dan bercita-cita menjadi PNS. Tapi itulah yang aneh dari republik ini bahkan untuk menjadi PNS di jawa sampai dilabeli dengan harga puluhan juta rupiah. Kalau mau masuk sudah dengan modal demikian besar terus apa yang dia lakukan ketika sudah jadi. Apakah hanya akan makan dengan kehormatan sebagai pangreh praja, tentu tidak yang terjadi adalah mencari untung dengan status yang baru dia miliki. Bahkan saking anehnya cerita adik2 di kampung bagaimana polisi (oknum lho) demikian galaknya bahkan kalau sedang razia ukuran ban pun pemiliknya harus tahu karena kalau tidak maka tahu sendiri sidang di tempatlah.
Kembali ke persoalan cita-cita sebagian besar pemuda kita. Sejatinya bangsa ini akan maju apabila mayoritas pemudanya bercita-cita pengusaha dan harus siap dengan perjalanan untuk menuju pengusaha yang sukses. Tanah yang subur sumber daya alam yang melimpah harus diusahakan oleh anak-anak bangsa dengan kemampuan dan kemauannya. Bukan diserahkan kepada tangan - tangan asing dengan berbagai istilah penanaman modal asing, investasi asing lah dsb. yang ujung -ujungnya menjadikan bangsa ini menjadi kuli di negeri sendiri.
Untuk itu sudah mulai mendesak untuk menggalakkan gerakan kemandirian agar setiap lulusan sekolah kita siap untuk mandiri sehingga perlu didirikan Institut Kemandirian. Dengan adanya sikap kewirausahaan maka perekonomian akan bergerak disektor riil seiiring dengan pengolahan sumberdaya alam yang maksimal oleh anak -anak bangsa. Institut Kemandirian yang perlu kita dirikan akan mencuciotak anak didik agar ada gelora berusaha bagi anak didiknya, sehingga ibaratnya tidak memberikan kail apalagi ikan, tapi kita gelorakan keinginan untuk memancing karena dengan begitu dapat dipastikan anak didik akan berproses untuk menjadi pemancing-pemancing yang hebat dengan ilmu yang akan dicari dengan sendiri yang sekarang banyak fasilitas yang bisa diakses.
Seiring dengan kewirausahaan masyarakat sudah seharusnya pemerintah memberikan keberpihakannya. Tidak seperti sekarang ini ketika masyarakat di Jawa mencoba melakukan usaha penggemukan sapi akhirnya hancur/gulung tikar karena digempur oleh daging impor sehingga daging impor dan daging lokal selisih hampir 20.000 rupiah per kilo. Ironis.