Senin, 28 Februari 2011

Subsidi BBM dan Prinsip Belanja

18 Jan 2011

* Harian Ekonomi Neraca
* Headline

Oleh Walidi

Direktur Amanah Syariah Solution

Kemaslahatan atas kebijakan pembatasan subsidi BBM yangakan dilakukan pemerintah dapat ditinjau berdasarkan nilai ekonomi syariah termasuk prinsip belanja publik Islami. Prinsip dasar itu harus mendorong kebijakan fiskal lebih kepada kebijakan ekonomi yang berkeadilan bagi umat untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan dasar (pangan, sandang dan papan) dan kebutuhan pokok (keamanan, kesehatan dan pendidikan) masyarakat

Jangan sampai kebijakan pembatasan subsidi BBM sebagai perwujudan dari penghambaaan kebijakan ekonomi nasional terhadap konsep liberalisasi yang anti subsidi. Karena menurut ekonomi Islami, BBM bukan hanya sebagai komoditas pasar. Tapi juga sebagai amanah publik, sehingga menjadi tugas pemerintah untuk memakmurkan rakyat melalui BBM yang dihasilkan dari kekayaan alam.

Sejatinya terdapat pilihan yang lebih sesuai bagi ekonomi syariah dalam kerangka pembatasan subsidi BBM yaitu dengan perpajakan progresif bagi kendaraan dan penghasilan orang-orang kaya. Namun demikian, kalaupun toh kebijakan tersebut harus ditempuh. Maka harus sejalan dengan prinsip - prinsip belanja publik Islami tersebut di atas.

Merujuk prinsip belanja publik tersebut, pertama kebijakan pembatasan subsidi BBM harus dipastikan digunakan untuk kemashlahatan umat. Kedua kebijakan konversi BBM harus dipastikan tidak menimbulkan kemudharatan terutama efek inflationair. Jangan sampai masyarakat kecil menanggung akibatnya.

Prinsip ketiga, kemaslahatan mayoritas harus didahulukan dari pada kemaslahatan minoritas yang lebih kecil. Kajian selama ini yang mengugkap kebijakan subsidi BBM temyata 70% BBM bersubsidi itu, 40%-nya dinikmati orang kaya, kelas menengah menikmati 10% dan warga miskin hanya menikmati 7 %-nya.

Prinsip keempat, pengorbanan harusnya ditimpakan ke masyarakat mampu dengan memastikan pembatasan BBM bersubsidi. Dan sesuai prinsip kelima dengan masyarakat kaya harus dikenai dengan bahan bakar yang lebih mahal bukan dari harga pokok produksi.

Intinya, prinsip belanja publik Islam adalah kebijakan pembatasan subsidi BBM sebisa mungkin harus mampu menekan efek inflasi yang ditimbulkan. Masyarakat dari golongan rendah harus mendapatkan bantuan yang memadai agar kebutuhan pokok dan kebutuhan dasarnya tetap terpenuhi.

Bagi rumah tangga miskin, komponen BBM meliputi bagian signifikan pengeluarannya. Jika harganya naik, maka akan memporak-porandakan komposisi belanja rumah tangganya. Di sisi lain, pembatasan BBM bersubsidi jangan sampai berdampak pada industri nasional agar bisa melawan produk-produk dari Cina yang terkenal kompetitif.

Dalam hal - prasyarat-prasyarat tersebut belum dapat dilaksanakan maka kebijakan tersebut perlu ditunda, demi persiapan yang lebih memadai untuk menjamin tingkat maslahah yang ditimbulkan lebih besar dibandingkan kemudharatan yang diderita oleh masyarakat.*

Ekonomi Syariah Menggugat Privatisasi

Privatisasi merupakan bagian utama program penyesuaian struktural yang dilahirkan di Washington pada tahun 1980. Privatisasi selalu menjadi agenda globalisasi dan liberalisasi ekonomi yang diusung oleh IMF, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), AS dan negara-negara kapitalis lainnya, serta para investor. Tujuannya, kesinambungan penjajahan kapitalis terhadap negara-negara berkembang dan negara-negara miskin.

Privatisasi (pengalihan aset negara/milik rakyat) merupakan bagian tak terpisahkan dari ideologi kapitalisme yang menonjolkan kepemilikan individu atau kebebasan kepemilikan. Islam melarang kita mengadopsi konsep-konsep ekonomi yang secara asasi bertentangan dengan akidah.

Konsep privatisasi ditujukan untuk meningkatkan efisiensi suatu BUMN dengan memasukkan dalam market condition yang selanjutnya memberi keuntungan bagi pemilik, pelanggan dan karyawannya (Moore, 1983). Dengan demikian, privatisasi dari sisi pemerintah membantu dana, sedangkan dari sisi BUMN, "memaksa" BUMN untuk meningkatkan profesionalisme dan efisiensi. Masalah utama yang mengganjal program privatisasi BUMN di Indonesia udalah kurangnya transparansi dan minimnya nasionalisme untuk mempertahankan aset strategis dari pihak asing.

Buntutnya privatisasi dilak-sanakan semena-mena, mengabaikan struktur penguasaan modal di antara berbagai strata sosial di masyarakat. Secara normatif, privatisasi membuka peluang bagi semua anggota masyarakat untuk turut memiliki modal BUMN. Namun pelaksanaan privatisasi malah membuka peluang segelintir kaum borjuis melipatgandakan penguasaan modal. Celakanya, pelaksanaan privatisasi ditandai terjadinya pemindahan penguasaan modal dari tangan negara kepada para pemodal internasional.

Beberapa ekonom menyatakan, privatisasi juga suatu upaya sistematis dari multinasional asing meraih aset negara secara murah. Bahkan dicurigai, privatisasi sarat dengan suap dan komisi. Selain transaksinya cenderung besar, pertanggungjawabannya pun terbatas. Jadi tak perlu pertanggungjawaban fisik sebagaimana proyek infrastruk tur. Maka tk aneh belakangan ada slogan baru di dunia internasional, "privatisation is the mother of corruption"

Penjualan aset negara secara liar tidak terlepas dari model privatisasi yang dipilih pemerintah yakni private placement (investor strategis). Model itu menimbulkan kecurigaan karena berlangsung tertutup, sehingga menimbulkan rent seeking (pencari rente) di lingkungan birokrasi pemerintah. Contohnya, privatisasi Semen Gresik dan Krakatau Steel.

Konsep Islam

Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, harta kekayaan yang ada di bumi ini tidaklah bebas untuk dimiliki oleh individu, sebagaimana yang ada dalam pemahaman sistem ekonomi kapitalisme. Sebaliknya juga tidak seperti dalam pandangan sistem ekonomi sosialisme, yang memandang bahwa harta kekayaan yang ada di bumi ini harus dikuasai oleh negara. Dalam ekonomi Islam, status kepemilikan terhadap harta kekayaan dikategorikan 3 kelompok.

Pertama Kepemilikan indi-vidu, yaitu hukum syara yang berlaku bagi zat atau manfaat tertentu, yang memungkinkan bagi yang memperolehnya untuk memanfaatkannya secara langsung atau mengambil kompensasi (iwadh) dari barang tersebut. Kedua Kepemilikan umum, yaitu ijin Asy-Syariah kepada suatu komunitas untuk bersama-sama memanfaatkan suatu benda. Sektor ini mencakup segala milik umum seperti hasil tambang, minyak, gas, listrik, hasil hutan, air dsb.

Ketiga, Kepemilikan negara, yaitu harta yang tidak termasuk kategori milik umum melainkan milik individu, namun barang-barang tersebut terkait dengan hak kaum muslimin secara umum. Sumber-sumber kepemilikan dari fai, ghanimah, kharaj, seperlima rikaz, 10 persen dari tanah usyriyah, jizyah, waris yang tidak habis dibagi dan harta orang murtad.

Dari pembagian kepemilikan dalam ekonomi Islam tersebut, maka posisi sumber daya alam seperti pertambangan, energi, hutan, air masuk kategori yang kedua, yaitu kepemilikan umum. Artinya, dalam Islam, barang-barang ini hanya boleh dikelola oleh negara dan tak boleh dimiliki individu atau pihak swasta dan tidak boleh diprivatisasi. Yang termasuk dalam kategori barang milik umum diantaranya adalah berbagai jenis tambang yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti minyak bumi, gas alam, emas, perak, timah, tembaga, dan batubara. Jadi, negara tidak boleh menyerahkan pengelolaan kekayaan alam yang merupakan milik umum tersebut kepada pribadi perorangan maupun pihak multinasional/asing.

Pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni mengatakan Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, inumia (semacam obat), petroleum, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslimin, sebab hal itu akan me-rugikan mereka.

Privatisasi dalam Pandangan Islam

Berdasarkan konsep kepemilikan tersebut di atas maka Islam berpandangan terkait proses privatisasi harus sangat hati - hati. Yang perlu dilakukan adalah proses klasifikasi suatu barang tersebut termasuk dalam barang yang bisa menjadi kepemilikan individu atau tidak. Jika jawabannya tidak, maka barang tersebut tidak bisa diprivatisasi.

Privatisasi hanya boleh untuk barang yang masuk dalam kategori kepemilikan individu. Itupun harus mengikuti beberapa prinsip dalam ekonomi syariah yaitu harus sesuai prinsip distribusi kekayaaan dalam ekonomi syariah, artinya tidak menyebabkan kekayaan hanya beredar di kalangan tertentu saja.

Hal ini untuk menghindari semakin meningkatnya kesenjangan antar anggota masyarakat. Sebagaimana Laporan akhir tahun 2009 40 orang terkaya di Indonesia menguasai SUS 42 miliar atau sekitar 410 triliun, jumlah tersebut lebih besar dari belanja seluruh kementerian lembaga tahun 2010.

Kemudian, mesti diantisipasi adanya monopoli pembelian aset dan proses privatisasi harus menerapkan prinsip good governance dan good corporate governance. Dipastikan pula, privatisasi lebih efisien dari monopoli pemerintah, sehingga tidak mengambil untung dari posisi monopolinya secara semena -mena dan mengakibatkan konsumen lebih menderita. Terakhir, jangan sampai mengakibatkan kepemilihan beralih ke pihak asing yang akan menggerus pada kemandirian bangsa dan upaya penyejahteraan warga bangsa secara kolektif.

Rekomendasi

Terhadap barang - barang yang masuk dalam kategori barang miliki umum (BUMN masuk kategori ini) maka pemerintah tidak boleh melakukan privatisasi namun hanya sebagai pengelola.

Sedangkan hasilnya harus diberikan kepada rakyat dalam bentuk barang yang murah atau subsidi untuk kebutuhan primer, seperti pendidikan, kesehatan, dan fasilitas umum.

Karena itu, pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta (corporate based management) yang terjadi selama ini harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management), dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumberdaya alam.

Tugas negara hanyalah mengelola, bukan memiliki. Tanggung jawab negara adalah mengelola seluruh sumber daya alam itu untuk digunakan sepenuhnya bagi kemakmuran rakyat. Jika dalam pengelolaan tersebut negara harus terkena beban biaya produksi, maka negara bisa menjual komoditas tersebut kepada rakyat dengan harga sebatas beban biaya produksi tersebut.

Termasuk dalam harta milik umum yang tidak boleh diprivatisasi adalah industri yang menghasilkan produk/mesin yang dibutuhkan oleh kegiatan-kegiatan sektor perekonomian seperti industri manufaktur, pertanian, transportasi, telekomunikasi dan industri baja.

Untuk barang - barang umum maka privatisasi harus dibuang jauh-jauh. Sebagai gantinya, pemerintah dan DPR harus lebih berkonsentrasi memperbaiki kinerja BUMN dan meningkatkan keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam pengelolaan perusahaan negara itu. Pemerintah perlu mengubah metode dan orientasi reformasi BUMN dari privatisasi menjadi demokratisasi. Artinya, reformasi BUMN tidak ditujukan untuk memindahkan modal dari tangan pemerintah kepada swasta atau kekuatan modal internasional, melainkan memperbaiki kinerja dan mendemokratisasikan pengelolaan BUMN. Peningkatan peranan karyawan, konsumen, dan masyarakat daerah sebagai pemilik saham BUMN perlu mendapat perhatian. *
Entitas terkaitBank | BUMN | Buntutnya | Dipastikan | DPR | Indonesia | Islam | Itupun | Kepemilikan | Kitabnya | Konsep | Krakatau | Masalah | Model | Mughni | Pemerintah | Peningkatan | Penjualan | Privatisasi | Rekomendasi | Sebaliknya | Sektor | SUS | Syariah | Tanggung | Tugas | Washington | Kedua Kepemilikan | Konsep Islam | Pandangan Islam | Pertama Kepemilikan | Sebagaimana Laporan | Semen Gresik | Bank Pembangunan Asia | Oleh Walidi SE | Pendapat Ibnu Qudamah | Ekonomi Syariah Menggugat Privatisasi | Direktur Eksekutif Amanah Syariah Solution |
Ringkasan Artikel Ini
Konsep Islam Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, harta kekayaan yang ada di bumi ini tidaklah bebas untuk dimiliki oleh individu, sebagaimana yang ada dalam pemahaman sistem ekonomi kapitalisme. Sebaliknya juga tidak seperti dalam pandangan sistem ekonomi sosialisme, yang memandang bahwa harta kekayaan yang ada di bumi ini harus dikuasai oleh negara. Pertama Kepemilikan indi-vidu, yaitu hukum syara yang berlaku bagi zat atau manfaat tertentu, yang memungkinkan bagi yang memperolehnya untuk memanfaatkannya secara langsung atau mengambil kompensasi (iwadh) dari barang tersebut. Yang termasuk dalam kategori barang milik umum diantaranya adalah berbagai jenis tambang yang menguasai hajat hidup orang banyak, seperti minyak bumi, gas alam, emas, perak, timah, tembaga, dan batubara. Pendapat Ibnu Qudamah dalam Kitabnya Al-Mughni mengatakan Barang-barang tambang yang oleh manusia didambakan dan dimanfaatkan tanpa biaya, seperti halnya garam, air, belerang, gas, inumia (semacam obat), petroleum, intan dan lain-lain, tidak boleh dipertahankan (hak kepemilikan individualnya) selain oleh seluruh kaum muslimin, sebab hal itu akan me-rugikan mereka. Yang perlu dilakukan adalah proses klasifikasi suatu barang tersebut termasuk dalam barang yang bisa menjadi kepemilikan individu atau tidak. Karena itu, pengelolaan sumberdaya alam milik umum yang berbasis swasta (corporate based management) yang terjadi selama ini harus diubah menjadi pengelolaan kepemilikan umum oleh negara (state based management), dengan tetap berorientasi pada kelestarian sumberdaya alam. Termasuk dalam harta milik umum yang tidak boleh diprivatisasi adalah industri yang menghasilkan produk/mesin yang dibutuhkan oleh kegiatan-kegiatan sektor perekonomian seperti industri manufaktur, pertanian, transportasi, telekomunikasi dan industri baja.

Capaian 2010 Dimata Ekonomi Syariah

Banyak capaian angka – angka tahun 2010 telah dipublikasikan oleh pemerintah dari pertumbuhan ekonomi, inflasi, PDB dan sebagainya. Angka capaian tersebut telah menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat dan telah banyak ulasan yang dilakukan oleh berbagai pihak dalam berbagai dimensi, namun satu hal yang belum dilakukan yaitu sejauhmana capaian angka – angka tersebut di mata ekonomi syariah.

Ekonomi syariah merupakan sebuah ekonomi yang didesign oleh Allah sebagai sebuah sistem yang menjamin kemashlahatan bagi umat manusia. Dalam perkembangan dewasa ini, ekonomi syariah dapat dimaknai dengan 2 hal yaitu ekonomi syariah dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas, ekonomi syariah berarti sejauhmana perekonomian yang ada sejalan dengan nilai – nilai dari ekonomi syariah. Sedangkan ekonomi syariah dalam arti sempit adalah perkembangan instrument – instrument yang telah berkembang saat ini yang dalam tulisan ini di wakili oleh perkembangan perbankan syariah. Kerangka pemaknaan ekonomi syariah yang pertama dilakukan dengan penilaian sejauhmana capaian ekonomi yang ada saat ini di tinjau dari nilai – nilai yang terdapat dari ekonomi syariah sedangkan yang kedua adalah capaian atas perkembangan ekonomi syariah yang bersifat factual positif telah berkembang di kalangan perekonomian kita.

Capaian ekonomi syariah secara luas

Kerangka penilaian capaian perekonomian di lihat sebagai ekonomi syariah secara luas dilakukan dengan sejauhmana capaian tersebut sejalan dengan nilai – nilai ekonomi syariah. Untuk itu, perlu kita definisikan terlebih dahulu nilai – nilai berkenaan sebagai alat dalam kita melakukan penilaian atas capaian ekonomi ditahun 2010. Sejauh kajian yang penulis lakukan, hakekat ekonomi syariah kalau kita cermati terdapat empat pilar sebagai nilai pokok rujukan yaitu 1) kebijakan fiskal berbasis nilai – nilai ZISWAF (zakat, infaq, shadaqoh dan wakaf), 2) kebijakan moneter berbasis nilai nilai dinar, 3) Perekonomian yang mengutamakan sector riil dan 4) perekonomian yang mengarahkan pelakunya pada kerjasama dalam keadilan (Bagi Hasil).
Berdasarkan kebijakan fiskal berbasis nilai zakat kita dapat menarik kesimpulan pentingnya keadilan dalam masyarakat guna menjamin distribusi pendapatan atas proses dan hasil perekonomian. Oleh karena prioritas atas nilai dimaksud maka agama telah mengajarkan bahwa zakat menjadi salah satu rukun agama. Dari dimensi ini kita dapat melihat bahwa capaian angka tahun 2010 dimana PDB kita mencapai 700 miliar dolar dengan jumlah penduduk 237,6 juta jiwa diperoleh angka pendapatan per kapita sebesar 3.004 dolar (28,5 juta rupiah). Tentu hal ini sesuatu yang menggembirakan dalam hal jumlah tersebut relatif merata dari seluruh perekonomian. Namun dalam kenyataan data (Kompas Januari 2011) menunjukkan 40 orang terkaya di Indonesia menguasai 10% dari seluruh perekonomian yaitu sebesar 70 miliar (sekitar 650 triliun rupiah) atau per orang adalah 1,8 miliar dolar (sekitar 16,5 triliun rupiah). Kita dapat membandingkan antara strata social dengan rata – rata pendapatan 16,5 triliun untuk 40 orang, sementara sisanya berpendapatan rata 28,5 juta rupiah. Angka tersebut belum kalau kita telusuri lebih lanjut terhadap angka kemiskinan sebesar 13,3 persen dari populasi yang masih di bawah garis kemiskinan. Dengan jumlah tersebut maka sebanyak 13,3% penduduk atau sebesar 31,6 juta penduduk kita berpenghasilan sebulan di bawah rata – rata 212.000 rupiah (batas angka kemiskinan absolute) atau 2,5 juta pertahun. Kita dapat bayangkan perbandingan ketimpangan antara 31 juta penduduk Indonesia yang berpenghasilan 2,5 juta pertahun dengan 40 orang yang mempunyai kekayaan 16,5 triliun pertahun. Atau dengan kata lain 31 juta penduduk kita berpendapatan sebesar 78 triliun sementara 40 orang terkaya di Indonesia dengan total kekayaan 650 triliun rupiah. Meski perbandingan tersebut agak bias karena membandingkan antara kekayaan dan pendapatan, namun angka – angka tersebut dapat menunjukkan tingkat ketimpangan distribusi pendapatan sebagai wujud penilaian ekonomi syariah merujuk pada nilai fiskal zakat dari ekonomi syariah.
Dari dimensi kebijakan moneter dinar kita dapat nilai dengan besaran inflasi yang terjadi. Dalam perekonomian konvensional kondisi inflasi seakan merupakan prasyarat bagi pertumbuhan ekonomi dengan analogi bahwa suatu perekonomian kalau mau kenceng lajunya maka butuh mesin yang relative panas. Namun tidak demikian dalam kerangka ekonomi syariah mengingat tujuan ekonomi syariah yang utama adalah keadilan distribusi di masyarakat bahwa terjadi pertumbuhan adalah sunatullah atas sifat manusia yang ingin melakukan peningkatan kesejahteraan. Disamping itu, dalam ekonomi konvensional tingkat inflasi yang terjadi di suatu negara tidak semata disebabkan kelangkaan suatu barang tapi terpengaruh oleh kebijakan moneter yang mengandung uang panas yang berbasis riba. Dari sisi moneter kita bisa melihat tingkat inflasi rupiah dibandingkan dengan nilai dinar dibandingkan pada awwal tahun 2010 melemah sekitar 17% dibandingkan nilai dinar saat ini yang mencapai satu dinar setara dengan Rp. 1.697.000,- . Angka inflasi berdasarkan harga emas tersebut jauh di atas inflasi dengan penilaian konvensional sebesar 6,6%. Penilaian inflasi berdasar kenaikan atas harga emas tersebut dalam pandangan ekonomi syariah lebih mencerminkan tingkat penurunan daya beli masyarakat dibandingkan dengan ukuran berbasis uang fiat. Mengingat dalam ekonomi syariah nilai mata uang yang menjadi rujukan seharusnya adalah mata uanag berbasis dinar/emas.
Dalam rezim uang fiat dunia pasca Nixon Shock 1971 harga barang-barang kebutuhan pokok di tingkat dunia hampir selalu dalam situasi naik. Ketika ekonomi dunia lagi membaik – ada peningkatan kebutuhan yang tidak selalu bisa diikuti secara proporsional oleh peningkatan supply, dampaknya harga naik. Ketika ekonomi lagi memburuk, pemerintahan-pemerintahan dunia cenderung mencetak uang secara berlebihan untuk mencegah ekonomi terpuruk lebih lanjut – uang yang dicetak berlebihan inilah yang menimbulkan inflasi – yang berarti harga barang-barang secara umum juga naik.
Data menunjukkan beberapa contoh kenaikan harga-harga komoditi yang mewakili kebutuhan sandang –pangan masyarakat dunia selama setahun terakhir. Ketika harga emas dunia dalam US$ naik di kisaran 23% selama setahun terakhir (dalam Rupiah hanya di kisaran 17% karena Rupiah yang lagi lebih perkasa ketimbang US Dollar), harga komoditi yang mewakili sandang –pangan juga naik – bahkan dengan kenaikan yang lebih besar. Kapas mengalami kenaikan sekitar 80%, jagung naik sekitar 40%, kedelai naik sekitar 30%, dan gandum juga naik sekitar 40%. Sementara kita masih beruntung karena selama setahun terakhir Rupiah menguat dengan cukup significant dari rata-rata bulanan Rp 9,454/ US$ Desember tahun lalu , menjadi rata-rata Rp 9,005/US$ untuk bulan ini. Bila tidak karena Rupiah yang lagi perkasa ini, maka kitapun akan menderita serius oleh kenaikan harga-harga komoditi utama untuk sandang – pangan di tingkat dunia tersebut diatas.
Dari kacamata ekonomi konvensional menggunakan ukuran tingkat inflasi yang pada hakekatnya disebabkan oleh pengelolaan ekonomi berbasis riba. Badan Pusat Statistik (BPS) telah melansir inflasi sepanjang tahun 2010 yang mencapai 6,96 persen atau jauh di atas target pemerintah sebesar 5,3 persen.
Disamping tingkat inflasi, capaian kebijakan moneter dinar dapat dinilai dengan sejauhmana sector moneter kita terhubung dengan sector riil yang ditunjukkan dengan besaran Loan to Deposit Ratio. Rata-rata LDR perbankan pada Desember 2011 ini cenderung turun di posisi 75%. Kecenderuangan LDR dari perbankan yang turun ini mengakibatkan BI mengambil kebijakan untuk mendorong pembiayan dengan memberi sanksi ‘denda’ tambahan GWM bagi perbankan yang LDRnya rendah. Rasio kredit bermasalah alias Non Performing Loan (NPL) industri perbankan tahun 2010 mencatat angka terendah sepanjang sejarah Indonesia. Bank Indonesia (BI) mencatat NPL per Desember 2010 sebesar 3,0% atau turun 30 bps dibanding Desember 2009 yang sebesar 3,3%. Hal ini seiring dengan kecilnya dana perbankan yang digelontorkan yang kemungkinan disebabkan karena perbankan telah dinyamankan dengan tingkat return dari berbagai instrumen investasi yang ada SBI, ORI, SPN dsb.
Dari sisi capain sector riil kita dapat lihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi tahun 2010 yang mencapai 6,9 persen. Secara keseluruhan pertumbuhan ekonomi masih disumbangkan oleh sektor pengangkutan dan komunikasi sebesar 1,2 persen, sektor perdagangan, hotel dan restoran 1,5 persen dan industri pengolahan 1,2 persen. Pertumbuhan tersebut lebih banyak disumbang oleh sektor ekonomi yang padat modal seperti telekomunikasi dan keuangan yang notabene minim menyerap tenaga kerja. Otomatis, sektor yang gemuk inilah yang menikmati lebih banyak pertumbuhan ekonomi ketimbang orang-orang yang bekerja pada sektor pertanian atau manufaktur. Sejalan dengan konsep pemerataan, hal ini telah mendorong penumpukan pertumbuhan di sector yang tidak dinikmati orang banyak di pertanian dan industri yang pada akhirnya mengakibatkan semakin melebarkan kesenjangan distribusi pendapatan masyarakat.
Prestasi negative dari sector riil dapat dilihat pula dari pergerakan dari besaran tingkat impor dan proses deindustrialisasi yang terjadi selama kurun 2010. Kementerian Perdagangan mencatat defisit perdagangan nonmigas Indonesia terhadap Cina terus membengkak. Pada 2010, ekspor nonmigas Indonesia ke Cina sebesar 14,07 miliar dolar. Sementara, impor dari Cina sebesar 19,68 miliar dolar. Artinya, defisit perdagangan nonmigas mencapai 5,6 miliar dolar, naik 1 miliar dolar dibandingkan tahun sebelumnya. Semakin kecilnya kontribusi industri pengolahan sebagai akibat gempuran produk Cina juga menjadi catatan tersendiri atas proses sector rill di tahun 2010. Kita semakin asyik jadi bangsa konsumen ketimbang berproduksi sendiri. Pertumbuhan ekonomi pun lebih banyak ditopang oleh konsumsi masyarakat ketimbang investasi swasta maupun belanja pemerintah.
Capaian ekonomi syariah secara sempit
Capaian ekonomi syariah 2010 cukup menggembirakan khususnya perkembangan perbankan syariah Indonesia pada tahun 2010. Mungkin beberapa kalangan sudah menyadari atau mungkin juga belum. Yang sangat menonjol terlihat adalah penambahan jumlah Bank Umum Syariah (BUS) yang melipat ganda, dari tahun lalu berjumlah 6 BUS kini menjadi 11 BUS. Penambahan ini berasal dari spin-off bank syariah yang berbentuk Unit Usaha Syariah (UUS) atau pendirian bank baru dari para investor yang masuk ke Industri perbankan syariah nasional. Daya tarik industri yang menjadi faktor penentu dari kecenderungan positif ini adalah kebijakan dalam UU Perbankan Syariah No. 21 tahun 2008 yang mendorong perbankan syariah beroperasi dalam bentuk BUS, khususnya nanti mulai tahun 2023 atau 15 tahun setelah UU Perbankan Syariah dikeluarkan.
Faktor lain yang membuat industri perbankan syariah nasional terakselerasi pertumbuhannya sepanjang tahun 2010 diantaranya adalah pengaturan perpajakan yang lebih kondusif (UU No.42 tahun 2009 tentang PPN), peningkatan credit rating Indonesia, pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tinggi di tingkat global, pendirian bank-bank syariah baru, serta semakin gencarnya program edukasi dan diseminasi perbankan syariah oleh Bank Indonesia, perbankan syariah, maupun pihak-pihak terkait lainnya.
Melihat perkembangannya pada beberapa tahun belakangan dan kondisi industri terakhir, beberapa faktor yang diperkirakan akan meningkatkan pertumbuhan industri perbankan syariah nasional, diantaranya adalah: (i) berdirinya BUS baru baik yang muncul dari pelaku pasar (investor) baru maupun konversi UUS menjadi BUS, sebagai akibat dari sentimen positif akibat pengaruh UU Perpajakan dan UU Perbankan Syariah; (ii) ekspektasi akan tercapainya peringkat investment grade yang semakin kuat bagi Indonesia; (iii) kuatnya sektor konsumsi domestik, kinerja investasi dan kemampuan ekspor yang mampu mendukung kinerja sektor riil nasional, sehingga menyebabkan kinerja ekonomi Indonesia mampu tumbuh positif dengan angka pertumbuhan yang relatif tinggi di bandingkan negara kawasan; (iv) keberhasilan program promosi dan edukasi publik tentang perbankan syariah.
Secara spesifik kinerja perbankan syariah nasional pada aspek pendanaannya (Dana Pihak Ketiga – DPK) menunjukkan pertumbuhan yang cukup menggembirakan. Industri perbankan syariah masih mampu menjaga pertumbuhan tinggi dari DPK perbankan syariah, dimana angka pertumbuhan year on year (YoY) hingga bulan Oktober mencapai 43%. Tantangan yang selama ini perlu diperhatikan industri adalah bagaimana memperbanyak nasabah korporasi untuk lebih banyak menggunakan produk-produk DPK perbankan syariah, disamping memang perlu terus berusaha meningkatkan loyalitas nasabah yang ada. Karena selama ini berdasarkan statistik yang ada, konsumen DPK korporasi perbankan syariah masih terbatas dan loyalitas nasabah yang ada masih relatif kurang.
Sementara itu, sisi pembiayaan perbankan syariah (Pembiayaan Yang Diberikan – PYD) diperkirakan akan pula mengalami peningkatan pertumbuhan yang tinggi. Hingga oktober tahun 2010 secara YoY pertumbuhan pembiayaan perbankan syariah nasional mencapai 39%! Jauh diatas pertumbuhan kredit perbankan nasional. Angka ini tentu sedikit banyak merepresentasikan kontribusi perbankan syariah terhadap dunia usaha nasional, khususnya dunia usaha mikro yang dominan menjadi pangsa industri perbankan syariah nasional. Apalagi angka Financing to Deposit Ratio (FDR) perbankan syariah yang selalu terjaga pada level lebih dari 90%, per Oktober 2010 FDR perbankan syariah mencapai 94,7%, menunjukkan fungsi intermediasi perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional berlangsung optimal. (Bandingkan dengan tingkat LDR di perbankan konvensional)
Tantangan yang sangat jelas terlihat pada masa yang akan datang dari perbankan syariah nasional adalah bagaimana menjaga laju pertumbuhan pembiayaan ini dengan kinerja yang juga baik dalam menekan tingkat pembiayaan bermasalahnya. Seperti yang ada dalam statistik perbankan syariah nasional, pembiayaan bermasalah bank-bank syariah relatif meningkat pada semua sektor ekonomi yang dibiayai, meski angkanya belum melebihi batas psikologis 5%. Non-Performing Financing (NPF) gross perbankan syariah per-Oktober 2010 mencapai 3,95%. Disamping itu, tantangan lain yang juga harus diperhatikan adalah pembiayaan perbankan syariah masih terkonsentrasi menggunakan akad berisiko kecil yaitu produk-produk menggunakan akad berbasis jual beli serta masih berada pada sektor-sektor ekonomi yang belum bervariatif, yaitu masih dominan berada pada sektor jasa dan perdagangan.
Laba perbankan syariah sepanjang tahun lalu mencapai Rp1,05 triliun atau naik sekitar 32,91% dibandingkan dengan perolehan laba pada tahun sebelumnya, dengan total pembiayaan mencapai Rp68,18 triliun.
Dari sisi pembiayaan, perbankan syariah selama 2010 telah menyalurkan Rp68,18 triliun. Capaian itu meningkat 45,41% dibandingkan dengan realisasi pada 2009 yang mencapai Rp46,88 triliun. Adapun, tingkat pembiayaan bermasalah (non performing financing) mencapai Rp2,06 triliun atau 3,02%. Untuk pengumpulan dana pihak ketiga (DPK), perbankan syariah bisa meraih Rp76,03 triliun pada 2010 atau meningkat 45,46% dengan tingkat pertumbuhan aset perbankan syariah pada 2010 menembus Rp100 triliun.
Kebijakan pajak berupa Tax neutrality yang ditetapkan dalam UU PPN yang baru, arah kebijakan pengembangan perbankan syariah yang tertuang dalam UU Perbankan Syariah dan membaiknya country risk serta perekonomian makro secara perlahan mulai berpengaruh positif bagi industri perbankan syariah nasional. Ketiga faktor utama tadi mendorong tumbuhnya bank syariah baru berupa Bank Umum Syariah (BUS), baik yang berasal dari pendirian bank syariah baru maupun konversi Unit Usaha Syariah (UUS) yang sudah ada.
Secara umum kondisi kondusif tadi telah berhasil menarik minat investor baru untuk masuk ke industri perbankan syariah. Pada tahun 2010 ini saja berdiri 5 BUS baru, sehingga total BUS kini menjadi 11 bank. Dari 5 BUS baru ini, 3 bank berasal daru pelaku atau investor baru sedangkan sisanya merupakan konversi dari UUS yang telah ada. Pendirian BUS baru ini memang tidak serta merta akan mendorong volume industry perbankan syariah secara signifikan. Bank-bank tersebut setidaknya membutuhkan waktu kurang lebih 2 tahun untuk menyiapkan infrastruktur, operasional dan SDM untuk kemudian melakukan akselerasi usaha. Namun pertumbuhan perbankan syariah nasional pada tahun 2011 tetap diprediksikan akan masih tinggi mengingat tahun 2009 juga terjadi pelipatgandaan jumlah bank syariah khususnya BUS. Interaksi usaha berupa kompetisi dalam atmosfir persaingan yang sehat, diharapkan mampu mengakselerasi pertumbuhan industri perbankan nasional.
Bank Indonesia yang membuat skenario pertumbuhan perbankan syariah nasional dalam klasifikasi pesimis, moderat dan potimis dengan masing-masing proyeksi 35%, 45% dan 55%, cukuplah beralasan berdasarkan perkembangan internal industri dan kecenderungan masa yang akan datang. Meski berdasarkan kecenderungan makro ekonomi Indonesia dan dinamika internal industri perbankan syariah nasional, proyeksi pertumbuhan perbankan syariah nasional cenderung menguat pada skenario moderat – optimis. Pertumbuhan aset perbankan syariah nasional YoY per-Oktober 2010 mencapai 44%, atau lebih tinggi dari pada tahun lalu.
Diluar perkembangan fisik yang terlihat ini, diharapkan pada tahun-tahun mendatang perkembangan industri perbankan syariah nasional juga semakin memperlihatkan keberkahannya berupa kemanfaatan bagi masyarakat dhuafa. Oleh karena itu, mungkin sebaiknya diperkenalkan pula variabel atau angka perkembangan berupa derajat kemanfaatan ini sebagai parameter kemanfaatan perbankan syariah nasional bagi masyarakat yang selama ini tidak terjangkau oleh industri perbankan yang terbilang mapan.
Semoga raport tahun 2010 dengan ukuran ekonomi syariah dalam arti luas dan dalam arti sempit menjadikan kita dapat lebih cermat dalam bercermin. Hasil koreksi atas tingkat capaian tersebut dapat menjadi panduan tentang bagaimana seharusnya ke depan kita melangkah guna mewujudkan tatanan perekonomian yang lebih berkeadilan. Amin.