Senin, 14 Juni 2010

DANA ASPIRASI DESA DAN EKONOMI SYARIAH

Hari-hari ini kita disibukkan dengan diskusi tentang dana aspirasi publik yang digagas oleh salah satu partai besar. Dana tersebut semula sebesar 15 milyar diperuntukan bagi setiap anggota DPR berdasarkan daerah pemilihan. Selanjutnya atas desakan berbagai pihak konsep tersebut bergerak menjadi apa yang disebut dengan dana aspirasi bagi setiap desa dengan konsep setiap desa menjadi satu milyar. Dana aspirasi perdesa tersebut dimaksudkan untuk menghindari perbedaan /kesenjangan pembangunan antara daerah satu dengan yang lain. Bagaimana seharusnya ekonomi syariah menyikapi hal ini?
Terkait wacana dana aspirasi dalam kacamata ekonomi syariah dapat dilihat berbagai hal sebagai berikut :
1. Sejatinya masalah distribusi belanja negara telah inklusif diselesaikan oleh mekanisme pemungutan dan penyaluran zakat. Mekanisme yang dilakukan oleh negara tersebut seharusnya nilai-nilainya dapat diambil dalam kebijakan oleh pemerintah RI. Hasil Fatwa Simposim Yayasan Zakat Internasional II, Tentang Zakat Kontemporer yang diselenggarakan di Kuwait pada tanggal 11 Zulkaidah 1409 H. bertepatan dengan 4/6/1989 M. memutuskan bahwa pada dasarnya zakat disalurkan kepada mustahik di tempat pemungutannya sendiri, namun boleh mentransfer zakat ke tempat lain bila ternyata ada kepentingan legal yang lebih utama. Selanjutnya mentransfer zakat ke luar tempat pemungutannya di luar kondisi yang dipersyaratkan mempunyai hukum makruh selama diberikan kepada salah satu mustahik yang delapan. Dengan konsep tersebut maka sejatinya kesenjangan antar daerah seharusnya sudah dapat diselesaikan dengan mekanisme zakat yang seharusnya dapat ditransformasikan kedalam kebijakan negara.
2. Kesiapan desa untuk mengelola dana tersebut. Beberapa waktu yang lalu penulis dihubungi oleh aparat Itwil Kab karena petugas diminta menjadi saksi ahli atas tuduhan korupsi yang dilakukan oleh aparat desa yang sebenarnya sumber masalah utamanya adalah karena ketidakmampuan aparat desa melakukan administrasi keuangannya sehingga aparat desa di dakwa dengan pasal tindak pidana korupsi. Kejadian tersebut bermula ketika aparat desa menaikkan pemungutan sebuah iuran diatas keputusan desa (semula besaran iuran sebesar Rp 10.000 menjadi Rp 15.000,-) dengan persetujuan secara lisan oleh Badan Perwakilan Desa. Akibatnya telah terjadi kelebihan penarikan iuran ke warga desa dengan berdasarkan keputusan ’lisan’ kepala desa dan persetujuan lisan BPD. Akhirnya pungutan tersebut dianggap illegal dan telah terjadi kelebihan penarikan dan sayangnya dana dimaksud telah digunakan langsung oleh aparat desa. Saat ini kegiatan tersebut telah dibidik oleh aparat penyidik menjadi tindakan yang dikategorikan korupsi oleh perangkat desa. Apa hikmah dari kisah dimaksud dan kaitannya dengan diskusi tentang dana aspirasi?. Adalah sudah suatu keharusan apabila kita akan memberikan suatu pengelolaan keuangan melihat kemampuan dari si penerima dana dimaksud. Jangan sampai ide baik adanya dana aspirasi per desa nantinya karena ketidakmampuan mengelolanya mengakibatkan dana dimaksud digunakan tidak sebagaimana mestinya atau malah banyak aparat desa menjadi bulan-bulanan aparat penyidik. Bukankah Islam juga mengajarkan agar dana warisan tidak diberikan kepada anak yatim yang belum mampu mengelolanya?
3. Ide dana aspirasi seharusnya belajar dari kasus anggaran pendidikan. Karena kebijakan anggaran pendidikan, saat ini APBNP 2010 terdapat dana 1.3 triliun yang dicadangkan oleh Depdiknas dan belum ditetapkan penggunaannya sehingga dipermasalahkan oleh DPR (Badan Anggaran). Ironis memang disatu sisi demikian banyak keperluan untuk pendidikan namun pada kenyataan ada dana yang demikian besar yang kemungkinan besar menjadi idle. Tahun lalu anggaran yang sama dialokasikan penggunaannya oleh Badan Anggaran bersama pemerintah namun akhirnya pemerin tah diprotes oleh Komisi Pendidikan.. Yang perlu dipertanyakan adalah kenapa dana blokir tersebut muncul? Dana tersebut muncul karena dalam ketentuan UUD disebutkan 20% APBN digunakan untuk pendidikan sementara dalam pembicaraan tingkat komisi DPR besaran APBN belum ditetapkan sehingga rencana kerjanya masih berdasarkan asumsi belanja APBN awal (yang lebih kecil). Pada saat pembahasan APBN antara pemerintah dan Badan Anggaran menjadi naik mengakibatkan terdapat tambahan belanja pendidikan dari proporsi 20% APBN yang belum ditetapkan penggunaan oleh Komisi yang berwenang atas program dan kegiatan terkait anggaran pendidikan. Sementara APBN harus segera ditetapkan maka setelah pembicaraan Badan Anggaran tidak mungkin lagi ’bola’ pembahasan kembali ke komisi. Inilah sebagai contoh ilustrasi bagaimana sebenarnya masalah teknis administrasi kebijakan terkait kewenangan kadang tidak sejalan dengan kecepatan terhadap pelayanan kepada masyarakat. Ide dana aspirasi seharusnya bisa diantisipasi terhadap berbagai kemungkinan menghadapi kasus serupa. Orang yang bijak adalah orang yang mampu mengambil pelajaran dari kisah terdahulu.