Selasa, 06 Juli 2010

ASUMSI MAKRO APBN MENURUT EKONOMI SYARIAH

Ada yang menarik dari kesepakatan DPR dan pemerintah beberapa hari yang lalu yaitu menjadikan penurunan tingkat kemiskinan sebagai asumsi makro APBN di masa – masa mendatang. Tingkat penurunan kemiskinan sebagai asumsi makro menjadi bagian asumsi makro yang selama ini menjadi pembahasan dalam Badan Anggaran DPR RI yaitu target pertumbuhan, tingkat inflasi, nilai tukar dolar, lifting minyak, harga minyak dan tingkat suku bunga SBI. Sebenarnya asumsi dasar APBN yang berlaku selama ini adalah tingkat pertumbuhan dan inflasi karena dua instrumen inilah yang menjadi kesepakatan dan koordinasi utama antara pengambil kebijakan fiskal (Kemenkeu) dan kebijakan moneter (BI) dalam mengambil kebijakan masing-masing, sedangkan yang lainnya merupakan instrumen pendukung dalam pencapaian kedua target tersebut.
Dengan asumsi dasar makro yang telah disepakati oleh pemerintah dan DPR akan ditentukan besaran target pendapatan yang harus dicapai, belanja yang harus dilaksanakan dan sumber pembiayaan atas defisit APBN. Kevalidan capaian target-target asumsi dimaksud oleh pemerintah dan BI dengan persetujuan DPR di dalam pelaksanaannya dapat kita gunakan sebagai alat untuk menilai sejauhmana keberhasilan/kegagalannya dalam mengelola keuangan negara ini.
Penetapan target tingkat kemiskinan sebagai asumsi makro APBN merupakan hal yang baru dalam pembahasan APBN kita. Bagaimana sebenarnya ekonomi syariah memandang instrumen yang seharusnya digunakan sebagai asumsi APBN? Dalam pengelolaan keuangan publik islami sejatinya terdapat nilai-nilai yang dapat diterapkan dalam penetapan asumsi makro APBN yaitu :
1. Prinsip Keadilan, tujuan dasar dari kebijakan fiskal Islam adalah distribusi pendapatan. Hal ini dicerminkan dalam kebijakan zakat. Oleh karena itu sebenarnya hal tersebut dapat ditransformasikan ke dalam ukuran-ukuran keadilan dalam kebijakan fiskal kita yaitu misalnya menjadikan indek gini ratio sebagai asumsi makro APBN. Dengan alat ini pemerintah ditargetkan untuk meningkatkan pemerataan atas hasil – hasil pembangunan. Adalah tidak logis sebenarnya negara yang berdasarkan Pancasila ini seratus lima puluh orangnya memiliki kekayaan yang lebih tinggi dari belanja seluruh APBN pusat. Laporan terakhir menyebutkan kekayaan 150 orang di Indonesia saat ini sebesar 550 triliun rupiah jauh diatas belanja seluruh kementerian/lembaga termasuk seluruh anggaran untuk membangun seluruh jalan, belanja persenjataan, biaya aparatur, biaya pendidikan yang tahun 2010 ini seluruhnya (belanja kementerian/lembaga) hanya sebesar 300 triliun. Terus dalam kondisi ini bagaimana sebenarnya dengan pengamalan sila kelima dari Pancasila. Bukankah dalam tujuan negara yang didengungkan oleh pendiri bangsa yaitu ’masyarakat adil dan makmur’, dimana kata adil didahulukan daripada makmur.
2. Penetapan tingkat pengentasan kemiskinan sebagai target makro ekonomi hakekatnya sejalan dengan ekonomi syariah. Hal ini sejalan dengan nilai ajaran zakat yang mengamanatkan minimal 25% penerimaaan zakat untuk pengentasan kemiskinan sehingga dua asnaf yang mewakili kepentingan tersebut yaitu fakir dan miskin dialokasikan secara langsung dari 25% dari penerimaan zakat. Penetapan penurunan angka kemiskinan sebagai asumsi APBN adalah sangat positif dengan ketentuan angka tingkat capaian pengentasan kemiskinan tersebut dalam pelaksanaannya benar- benar dapat diyakini kevalidannya serta dengan kejelasan kriteria pengukurannya.
3. Penurunan tingkat pengangguran sebagai target makro capaian APBN. Dalam hal tertentu angka pengentasan kemiskinan tidak sejalan dengan tingkat pengangguran. Oleh karena itu tingkat pengangguran kiranya perlu juga dijadikan target asumsi makro dan kontrak kinerja pemerintah. Karena bekerja bagi seseorang adalah sebuah penghargaan, identitas diri dsb. Maka hal ini harus diprioritaskan oleh pemerintah. Hal ini sejalan dengan penekanan nilai zakat terhadap orang – orang yang berusaha sehingga terhadap orang yang berhutang karena untuk usaha/bekerja dibantu oleh negara.
4. Penetapan nilai rupiah terhadap emas sebagai pengganti dolar yang selama ini menjadi bench mark dalam penyusunan APBN. Ini mungkin akan sangat mendasar dan kontroversial karena terkait dengan berbagai implikasi kebijakan moneter namun hal tersebut harus mulai diwacanakan karena untuk menuju pengelolaan kebijakan fiskal yang benar-benar berbasis nilai-nilai islami. Disamping itu perlu penetapan nilai tukar rupiah tidak ke dalam dolar semata namun dapat didiversifikasikan ke dalam Uero dan Cina. Karena sadar atau tidak untuk membuat dunia yang lebih berkeadilan maka dominasi dolar harus mulai dikurangi dengan tidak menjadikannya satu-satunya benchmark mata uang rupiah.
5. Maksimal dana yang boleh mengendap di perbankan misalnya sekian persen dari uang yang ada. Asumsi ini untuk menjamin agar dana diperbankan benar- benar dapat bergerak ke sektor riil. Yang mendesak saat ini sebenarnya disamping hal – hal tersebut adalah kebijakan yang dapat ditargetkan oleh pemeirntah dalam APBN adalah bagaimana agar pemerintah dan BI ditekan untuk membuat kebijakan yang mampu menggelontorkan dana perbankan yang saat ini enggan bergerak ke sektor riil. Ini barangkali juga mendesak untuk menjadikan target kebijakan fiskal sekaligus kalau memungkinkan sebagai asumsi APBN.

”Karena sejatinya dengan nilai islam yang universal, maka tidak harus menunggu khilafah kita dapat terapkan nilai ekonomi syariah dalam kebijakan fiskal Indonesia.”

Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar